Blog

Krisis Kepercayaan AI di Asia Tenggara: Inovasi Besar, Hasil Kecil Tantangan ROI dan Kesiapan Organisasi di Tengah Ledakan Investasi Teknologi

 Sebuah laporan terbaru dari TechNode mengungkap fenomena menarik namun mengkhawatirkan: lebih dari 60% inisiatif kecerdasan buatan (AI) di Asia Tenggara gagal memberikan pengembalian investasi (ROI) yang signifikan. Meskipun kawasan ini tengah mengalami lonjakan investasi AI dari sektor publik dan swasta, laporan tersebut menyebutkan bahwa “krisis kepercayaan” terhadap AI mulai muncul, didorong oleh ketidaksiapan organisasi, kesenjangan data, dan pemahaman teknologi yang belum matang.

Fenomena ini memperlihatkan realitas di balik euforia AI bahwa adopsi tanpa kesiapan strategis justru dapat berujung pada pemborosan sumber daya dan menurunnya kepercayaan terhadap potensi AI sebagai motor pertumbuhan ekonomi digital.

Gelombang Investasi AI di Tengah Ekspektasi Tinggi

Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Thailand berlomba mengembangkan strategi nasional AI. Pemerintah dan sektor swasta berinvestasi miliaran dolar untuk membangun pusat data, laboratorium riset, dan infrastruktur digital yang mendukung adopsi teknologi ini.

Namun, menurut laporan TechNode, hasil aktual dari investasi tersebut belum sebanding dengan ekspektasi. Sebagian besar proyek AI masih berada pada tahap eksperimental, dengan sedikit yang berhasil diimplementasikan dalam skala besar atau menghasilkan keuntungan nyata.

Bahkan, beberapa perusahaan besar yang menjadi pionir adopsi AI di kawasan melaporkan ROI negatif dalam dua tahun pertama, karena biaya integrasi, pelatihan model, dan adaptasi sumber daya manusia yang tinggi.

“Banyak organisasi di Asia Tenggara tergesa-gesa mengadopsi AI karena tekanan kompetisi dan tren global, bukan karena kesiapan internal yang matang,” ujar Dr. Helen Tan, analis teknologi di TechNode. “Inilah yang menimbulkan fenomena AI trust gap di mana keyakinan terhadap kemampuan AI tidak diimbangi dengan pemahaman bagaimana menggunakannya secara efektif.”

Masalah Utama: Data, SDM, dan Budaya Organisasi

Laporan tersebut mengidentifikasi tiga penyebab utama mengapa banyak proyek AI di Asia Tenggara gagal memberikan ROI optimal:

  1. Kualitas dan Konsistensi Data yang Rendah

    Banyak perusahaan di kawasan ini belum memiliki sistem data yang terstruktur dan dapat diandalkan. AI membutuhkan data bersih, terintegrasi, dan beragam namun di banyak organisasi, data masih tersebar dalam silos, tidak terstandardisasi, dan sulit diakses.
  2. Keterbatasan Talenta AI Lokal

    Kekurangan tenaga ahli AI menjadi hambatan besar. Perusahaan sering kali mengandalkan konsultan luar negeri dengan biaya tinggi, sementara transfer pengetahuan internal masih minim. Akibatnya, proyek sulit dilanjutkan secara mandiri setelah tahap awal.
  3. Budaya Organisasi yang Belum Siap Beradaptasi dengan AI

    Banyak organisasi masih memandang AI sebagai proyek IT, bukan sebagai strategi bisnis. Kurangnya kepemimpinan digital dan resistensi terhadap otomatisasi menyebabkan hasil implementasi tidak maksimal.

“Tanpa transformasi budaya organisasi, AI hanya akan menjadi alat mahal yang tidak terpakai maksimal,” tambah Dr. Tan.

Kesenjangan Kepercayaan: Antara Janji AI dan Realitas Lapangan

Fenomena “AI trust crisis” juga muncul karena gap besar antara ekspektasi publik dan kenyataan lapangan. Kampanye pemasaran AI sering menggambarkan kecerdasan buatan sebagai solusi instan untuk efisiensi dan pertumbuhan. Namun, implementasi AI di dunia nyata sering kali lebih kompleks memerlukan waktu panjang, eksperimen, dan adaptasi berkelanjutan.

Laporan TechNode menyoroti bahwa lebih dari 40% eksekutif perusahaan di Asia Tenggara merasa ragu untuk memperluas investasi AI setelah proyek awal mereka gagal memberikan hasil nyata.

Banyak perusahaan juga melaporkan kesulitan menjelaskan hasil AI kepada pemangku kepentingan non-teknis, sehingga menimbulkan keraguan terhadap keandalan sistem yang dianggap “black box”.

“Masalahnya bukan pada teknologinya, melainkan pada kepercayaan dan transparansi,” ujar Edison Lee, CTO sebuah startup AI asal Malaysia. “Perusahaan ingin AI yang bisa dijelaskan, bukan hanya AI yang canggih.”

Peran Pemerintah dan Regulasi dalam Memulihkan Kepercayaan

Beberapa pemerintah di Asia Tenggara kini mulai mengambil langkah untuk mengembalikan kepercayaan terhadap AI. Singapura, misalnya, memperkenalkan AI Verify, sebuah kerangka etika dan transparansi AI pertama di kawasan yang membantu organisasi menilai keandalan model AI mereka.

Sementara itu, Indonesia melalui Kementerian Kominfo sedang merancang pedoman etika nasional AI, yang menekankan prinsip keterbukaan algoritma dan tanggung jawab sosial pengembang.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan “AI governance maturity” atau kematangan tata kelola AI yang menjadi fondasi penting dalam membangun kepercayaan publik dan korporasi terhadap teknologi ini.

“Regulasi yang tepat bukan berarti membatasi inovasi,” jelas Dr. Tan. “Justru dengan aturan etis yang jelas, perusahaan dapat membangun AI yang lebih transparan, dapat dipercaya, dan berorientasi hasil nyata.”

Contoh Kasus: Dua Arah Kontras di Kawasan

TechNode juga mengangkat contoh menarik dari dua arah berbeda di kawasan:

  • Singapura dan Malaysia menunjukkan model sukses penerapan AI pada sistem logistik, perbankan, dan kesehatan. Dengan dukungan infrastruktur kuat dan kebijakan pemerintah yang visioner, negara-negara ini mulai mencatatkan ROI positif.
  • Sebaliknya, di beberapa negara berkembang lainnya, banyak proyek AI justru berhenti di tahap pilot. Kurangnya data berkualitas, tenaga ahli, dan pembiayaan jangka panjang membuat proyek gagal melewati fase uji coba.

Perbedaan ini menegaskan bahwa adopsi AI bukan sekadar membeli teknologi, tetapi membangun ekosistem dari pendidikan, regulasi, hingga kepercayaan sosial terhadap AI.

Kesimpulan: Membangun Kepercayaan, Bukan Sekadar Sistem Cerdas

Laporan TechNode menutup analisisnya dengan pesan penting: masa depan AI di Asia Tenggara tidak ditentukan oleh seberapa cepat investasi masuk, melainkan oleh seberapa besar kepercayaan yang dapat dibangun.

Untuk mengubah AI dari sekadar tren menjadi alat transformasi ekonomi nyata, organisasi harus:

  • Meningkatkan literasi dan transparansi AI,
  • Mengembangkan talenta lokal yang memahami konteks industri,
  • Menerapkan tata kelola dan etika AI yang jelas, serta
  • Fokus pada solusi berbasis hasil, bukan hype teknologi.

Jika langkah-langkah tersebut dapat dijalankan dengan konsisten, Asia Tenggara bukan hanya akan menjadi pasar AI terbesar di dunia berkembang tetapi juga contoh global tentang bagaimana membangun teknologi yang dipercaya, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.

Ingin terus update tentang informasi digital lainnya? Temukaan inspirasi teknologi harian di instagram @wesclic  dan lihat bagaimana inovasi mendorong industri bergerak lebih maju. 

Bila tertarik menerapkan solusi digital serupa, webklik juga menyediakan layanan pembuatan website professional yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan bisnis atau instansi anda hubungi langsung kami di WhatsApp untuk informasi lebih lanjut atau konsultasi layanan.

Leave your thought here

Read More

MoEngage Raih Pendanaan USD 100 Juta: Perkuat Ekspansi Global Platform Keterlibatan Pelanggan Berbasis AI

alya 05/11/2025

Industri teknologi kembali mencatat tonggak penting dengan langkah besar dari MoEngage, sebuah perusahaan penyedia platform keterlibatan pelanggan berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Pada tanggal 6…

Microsoft dan G42 Perluas Aliansi Strategis untuk Mendorong Transformasi AI dan Cloud di Uni Emirat Arab dengan Pusat Data Raksasa 200 MW

alya 05/11/2025

Transformasi digital global kembali mendapat momentum besar melalui kolaborasi dua kekuatan teknologi Microsoft dan G42,…

Krisis Kepercayaan AI di Asia Tenggara: Inovasi Besar, Hasil Kecil Tantangan ROI dan Kesiapan Organisasi di Tengah Ledakan Investasi Teknologi

alya 05/11/2025

 Sebuah laporan terbaru dari TechNode mengungkap fenomena menarik namun mengkhawatirkan: lebih dari 60% inisiatif kecerdasan…

CrowdStrike, AWS, dan Nvidia Perluas Program Akselerator Global untuk Startup Cybersecurity Berbasis AI: Mendorong Inovasi Keamanan Cloud Generasi Baru

alya 05/11/2025

Dalam era digital yang semakin bergantung pada teknologi cloud dan kecerdasan buatan (AI), ancaman siber…

Laporan DataM Intelligence: Pasar AI di Edge Computing Diproyeksikan Tembus USD 83,86 Miliar pada 2032, Didorong oleh 5G, IIoT, dan Infrastruktur Cerdas

alya 05/11/2025

Jakarta, Sebuah laporan riset terbaru dari DataM Intelligence memprediksi bahwa pasar kecerdasan buatan (AI) dalam…

Feedback
Feedback
How would you rate your experience?
Do you have any additional comment?
Next
Enter your email if you'd like us to contact you regarding with your feedback.
Back
Submit
Thank you for submitting your feedback!